Kamis, 18 Juni 2015

Wednesday, 14 November 2012

Ironisme Agribisnis Tembakau Lombok

Oleh: Muhammad Nurjihadi
Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton. Dari total produksi tembakau dunia tersebut, Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%). Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan 2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177 ton (5,6%). Sedangkan sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki, Zimbabwe, Yunani, dan lain-lain (FAO, 2007).

Dalam sejarahnya tembakau mulai menjadi perhatian sebagai komoditas komersial (high value commodity) di Indonesia sejak zaman pemerintah Hindia Belanda. Tembakau merupakan salah satu komoditas penting dan wajib ditanam ketika sistem tanam paksa diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi pasar ekspor. Sebagai komoditas ekspor, tembakau menjadi tanaman yang komersial dan berbasis pasar. Bahkan karena usaha penanaman tembakau pada tahun 1841 dianggap gagal akibat risiko tinggi karena kerentanannya terhadap cuaca dan musim menyebabkan pemerintah menghentikan tanam paksa tembakau. Untuk selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan pihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsung (Suroyo, 2000).

Nusa Tenggara Barat merupakan penyumbang produksi tembakau terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada tahun 2009, produksi tembakau nasional mencapai 235.987 ton yang terdiri dari 172.450 ton tembakau rakyat dan 63.537 ton tembakau Virginia. Dari jumlah itu, provinsi NTB menyumbang 57.707,2 ton atau 24,5% dari total produksi nasional yang terdiri dari 51.353 ton tembakau Virginia (80,8% total produksi tembakau Virginia nasional) dan 6.354,2 ton tembakau rakyat (3,7% total produksi tembakau rakyat nasional). Dari data diatas didapat pula informasi bahwa 89% dari total produksi tembakau di NTB merupakan jenis tembakau Virginia dan sisanya merupakan jenis tembakau rakyat (Deptan, 2011). Daerah sebaran utama penanaman tembakau di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Basuki, at al (2003) menjelaskan bahwa pada tahun 2003 kabupaten Lombok Timur memproduksi 21.972 ton tembakau atau 76,81% dari total produksi tembakau di NTB saat itu.
Usahatani Tembakau Virginia mulai diusahakan di Pulau Lombok sejak tahun 1969 bersamaan dengan masuknya PT. Faroka Tbk. Langkah PT. Faroka ini kemudian diikuti oleh PT. BAT Indonesia pada tahun 1971 serta PTP.XXVII dan NV GIEB pada tahun 1974. Memperhatikan keberhasilan rintisan usahatani Tembakau Virginia di Pulau Lombok, maka secara bertahap hadir perusahaan-perusahaan lain untuk turut mengembangkan Tembakau Virginia. Perusahaan – perusahaan yang dimaksud adalah PT. Djarum pada tahun 1980, PT. Anugrah Alam Abadi, PT. Mangli Jaya Raya, PT. Cakrawala pada tahun 1987 serta PT. Tresno Bentoel pada tahun 1989. Pada tahun-tahun berikutnya langkah ini disusul oleh PT. Trisno Adi, PT. HM. Sampoerna, PT. Sadhana Arifnusa dan PT. Gelora Djaja dan UD. Nyoto Permadi pada tahun 1999. (Disbun Provinsi NTB, 2002).

Agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok dikembangkan dengan sistem kemitraan melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dimana perusahaan-perusahaan distributor hasil tembakau menjadi inti dan petani sebagai plasma. Dalam proses usahatani, perusahaan berkewajiban memberikan bantuan kepada petani baik bantuan teknis maupun non teknis. Dalam prakteknya, perusahaan umumnya memberikan bantuan hutang kepada petani dalam bentuk penyediaan sarana produksi seperti pupuk, pestisida, benih, dan lain-lain. Selain itu, perusahaan juga memberikan bantuan penyuluhan dan pembimbingan teknis kepada petani dalam menjalankan usahatani tembakau, baik pada saat ditanam (on farm) maupun pada proses pengolahan atau pengomprongan tembakau (off farm). Sebagai imbalan atas bantuan itu, perusahaan mewajibkan petani menjual hasil panennya hanya kepada perusahaan yang memberikan bantuan itu. Hutang sarana produksi yang sudah diberikan kepada petani secara otomatis akan dibayar saat petani menjual produk tembakaunya ke perusahaan dengan cara memotong atau mengurangi nilai pembayaran tembakau petani oleh perusahaan inti. Pada satu sisi, pola kemitraan ini memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, dimana petani mendapatkan keuntungan karena mendapat bantuan, bimbingan dan sekaligus memiliki tujuan pasar yang jelas sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran, perusahaan juga diuntungkan karena dengan pola ini perusahaan dapat menghimpun hasil produksi tembakau petani yang sesuai dengan kebutuhannya. Tapi pada sisi lain, pola ini justeru merugikan petani karena dalam prakteknya, harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan, sementara petani kian tergantung pada perusahaan.

Berkembangnya agribisnis tembakau Virginia di pulau Lombok secara signifikan telah meningkatkan pendapatan petani. Studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) membuktikan bahwa agribisnis tembakau telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup itu terlihat pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup. Namun masih menurut Nurjihadi, beberapa tahun terakhir ini petani tidak lagi merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan dalam agribisnis tembakau Virginia sebagai akibat dari penentuan harga secara sepihak oleh perusahaan sebagai konsekuensi dari pola kemitraan yang diterapkan.

Karena tembakau merupakan komoditas komersial bernilai tinggi (High value commodity), maka tembakau merupakan salah satu komoditas yang tidak luput dari perhatian para pemilik modal. Artinya industri tembakau merupakan salah satu tujuan investasi para pemodal, baik pemodal asing maupun domestik untuk mengakumulasi modal dan menumpuk kekayaan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sistem ekonomi kapitalis yang mendasari perekonomian suatu negara atau wilayah dapat mengakibatkan meningkatnya ketimpangan ekonomi antara orang kaya (pemilik modal) dan orang miskin. Tabel Input-Output tahun 2004 menunjukkan bahwa share tembakau terhadap PDRB NTB adalah Rp 466,020 miliar atau setara dengan 1, 57%. Dari total share terhadap PDRB itu, Rp 348, 604 miliar diantaranya (74,80%) masuk ke kantong para pemilik modal dalam bentuk surplus usaha sedangkan sisanya yang hanya 115,621 miliar (24, 81%) terdistribusi kepada 57. 287 orang petani dan para pekerja perusahaan serta buruh tani (BPS NTB, 2004).

Ketimpangan ekonomi dalam agribisnis tembakau itu juga terlihat jelas dari data yang disampaikan TCSC IAKMI (2008) yang mengambil data dari statistik upah BPS tahun 2005. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani tembakau adalah Rp 15.900 atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-rata lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 883.693 (hanya 47%). Jika dibanding dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka rata-rata upah petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur. Sementara pada saat yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai keuntungan yang fantastis. Pada triwulan ke tiga tahun 2008, PT Sampoerna mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 3,1 Triliun, sementara PT Gudang Garam sampai pertengahan tahun 2008 merengguk keuntungan sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi keuntungan yang didapat oleh perusahaan rokok lainnya seperti PT Bentoel, British American Tobacco (BAT), Philip Morris Indonesia, dan sebagainya.

Ketika upah rata-rata petani tembakau jauh dibawah rata-rata upah nasional dan perusahaan rokok meraup keuntungan dengan nilai yang fantastis, pertanyaannya kenapa petani tembakau (khususnya di Pulau Lombok) masih bertahan dan tetap bergantung pada agribisnis tembakau Virginia. Ahsan at al (2008) dalam laporan penelitiannya menyampaikan sebuah fakta yang tegas tentang hal itu. Menurutnya ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau Virginia di Pulau Lombok terjadi karena setiap awal musim tembakau perusahaan-perusahaan (gudang pengumpul tembakau yang bermitra dengan petani) menyebarkan informasi kepada petani bahwa harga tembakau akan dinaikkan untuk musim tersebut. Namun setelah petani berproduksi, perusahaan justeru menyebarkan isu lain seperti telah terjadi over produksi yang membuat harga tembakau “dengan sengaja diturunkan” secara sepihak oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan meraup untung yang besar sementara petani harus gigit jari dan rela menjual tembakaunya dengan harga murah jika tak mau dikatakan diserahkan secara cuma-cuma kepada perusahaan.

Kesimpulan lain yang disampaikan Ahsan at al (2008) dalam penelitiannya itu adalah bahwa petani tembakau selama beberapa tahun terakhir mengalami kerugian massal. Untuk kasus petani tembakau Virginia Lombok, Ahsan menyebut selama kurun waktu 2002-2008 hanya sekitar 10% petani yang memperoleh keuntungan sementara sisanya mengalami kerugian, kecuali pada tahun 2006. Selain karena pengaruh iklim (curah hujan yang terlalu tinggi atau justeru kekeringan yang panjang), kerugian itu juga terjadi karena petani tidak punya kuasa untuk menetapkan harga jual tembakaunya. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan perusahaan yang menggunakan sistim grading. Ironisnya, petani tidak pernah diinformasikan secara jelas tentang standar grade. Akibatnya tembakau petani yang seharusnya masuk dalam grade tiga misalnya, dibeli perusahaan dengan harga tembakau untuk grade 15.

Secara umum perekonomian wilayah di NTB digerakkan oleh sektor pertanian. Sebanyak 74% masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (BPS, 2004). Basuki, at al (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Kinerja Pembangunan Pertanian NTB” menyimpulkan bahwa kinerja pertanian di NTB masuk dalam kategori ‘baik’ berdasarkan indikator-indikator pembangunan pertanian. NTB dalam laporan itu dinilai berhasil dalam memenuhi kriteria indikator pembangunan pertanian seperti (1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan produksi pangan dan hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan produksi peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan tenaga kerja sektor pertanian; (7) ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan. Semenatra itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai tukar petani; (3) produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan perikanan yang turun.
Pengaruh agribisnis tembakau dalam perekonomian wilayah NTB belum terlihat signifikan. Efek pengganda (Multiplier effect) yang ditimbulkannya berupa backward linkage (keterkaitan ke belakang) atau disebut juga drajat kepekaannya sebesar 1,75 sedangkan forward linkage (keterkaitan ke depan) atau disebut juga daya penyebarannya sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Nilai drajat kepekaan (backward linkage) sebesar 1,75 berarti bahwa setiap Rp 1 permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan output perekonomian sebesar Rp 1,75. Hal ini terjadi karena bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan agribisnis tembakau itu. Sedangkan forward likage yang hanya sebesar 1,18 menunjukkan bahwa agribisnis tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit sektor di hilir. Dalam kasus ini, agribisnis tembakau hanya menggerakkan tumbuh dan berkembangnya industri rokok.

Sulit untuk mengatakan bahwa semua fakta diatas terjadi secara alami (natural). Ada sekenario yang dimainkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri. Dalam konteks inilah agribisnis tembakau menjadi sasaran praktek ekonomi politik. Ekonomi politik agribisnis tembakau tidak sekedar menyangkut serangkaian kebijakan pemerintah dalam mengatur agribisnis tembakau. Lebih dari itu, ekonomi politik agribisnis tembakau melibatkan multi pihak yang tidak lain tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Jelaslah bahwa agribisnis tembakau tidak sesederhana persoalan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para petani yang ada di desa. Ada sebuah hubungan yang bersifat eksploitatif dan parasitik yang dilakukan oleh perusahaan terhadap petani. Oleh karenanya penting untuk melakukan penelitian tentang ekonomi politik dalam agribisnis tembakau dan dampaknya terhadap ekonomi wilayah.

 http://jihadnp34.blogspot.com/2012/11/ironisme-agribisnis-tembakau-lombok.html

Senin, 08 Juni 2015

proposalskripsi



PROPOSAL PENELITIAN


VIABILITAS BIJI KELOR (Moringa oleifera) DAN PERTUMBUHAN BIBIT PADA BERBAGAI TINGKAT KEMATANGAN BUAH



OLEH
SUMARJAN
C1M011144




FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2015
BAB. I. PENDAHULUAN
1.1.            Latar belakang
Kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang berasal dari dataran India yang sudah sangat dikenal di Nusa Tenggara Barat karena selain berfungsi sebagai pagar hidup di pekarangan dan kebun, kelor juga dikenal dengan istilah tanaman ajaib, dikarenakan memiliki banyak manfaat. Salah satu manfaatnya adalah sebagai sumber vitamin A sebanyak empat kali wortel, vitamin C  sebanyak tujuh kali dari jeruk, kalsium sebanyak  empat kali susu dan digunakan sebagai bahan baku energi alternative pengganti solar (Kelorina, 2014).
 Minyak biji Kelor mengandung asam oleat yg tinggi (70%), dengan  asam lemak jenuh yg terdiri dari sebagian besar profil asam lemak yg tersisa. Metil ester (biodiesel) yg diperoleh dari minyak ini memiliki angka oktan tinggi sekitar 67,sehingga sangat cocok untuk bahan bakar biodiesel (Santoso, 2014).
Kelor juga merupakan tanaman yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang tercekam, sehingga kelor mampu tumbuh meskipun pada kondisi yang sangat kering sekalipun. Hanya saja untuk tujuan bisnis diperlukan budidaya secara intensif agar mendapatkan pertumbuhan kelor yang optimal.
Sebagai tanaman tahunan, maka peranan yang bibit yang baik dan berkualitas menjamin pertumbuhan dan hasil tanaman di lapang. Sedangkan bibit yang baik dipengaruhi oleh kondisi benih yang baik pula. Untuk perbanyakan biji harus memperhatikan aspek-aspek biologis yang terdapat pada biji tersebut. Salah satu aspek yang paling penting adalah viabilitas biji.
Viabilitas biji berhubungan dengan tingkat kematangan biji. Biji yang sudah mengalami matang fisiologis memiliki tingkat viabilitas yang lebih baik dibandingkan tanaman yang belum matang fisiologis (Qamara, 1995). Pada tanaman kedelai ciri –ciri buah yang baik untuk benih adalah buah yang berwarna coklat penuh dan,  apabila 95 % polong pada batang utama telah berwarna kuning kecoklatan ( BPTJS, 1995). Informasi pada aspek-aspek viabilitas biji (benih) pada tanaman kelor masih sangat terbatas, padahal jika kelor ini akan dikembangkan, informasi aspek pembibitan sangat diperlukan.
Dari uraian di atas, maka penelitian tentang viabilitas biji kelor dan perkembangan bibit pada berbagai tingkat kematangan buah sangat penting untuk dilakukan.
1.2.  Tujuan dan kegunaan penelitian
1.2.1.                Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh tingkat kematangan buah kelor terhadap pertumbuhan bibit kelor.
1.2.2.                Kegunaan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai dasar dalam pengembangan pembibitan tanaman kelor. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dan sumber pustaka bagi penelitian lainnya yang terkait dengan tanaman kelor.
1.3.            Hipotesis
Untuk mengarahkan jalannya penelitian ini maka diajukan hipotesis yaitu diduga ada perbedaan viabilitas dan pertumbuhan bibit pada berbagai tingkat kematangan buah kelor.











BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman kelor
Kelor atau marungga (Moringa oleifera) adalah tanaman dari suku Moringaceae. Tanaman ini berasal dari kaki pegunungan Himalaya bagian Selatan di India Utara. Dewasa ini tanaman ini telah menyebar ke  seluruh India, Sri lanka, Afrika, Indonesia, Malaysia, Filipina, Mexico, serta Amerika Tengah dan Selatan.
Kelor merupakan tanaman yang dapat mentolerir berbagai kondisi lingkungan, sehingga mudah tumbuh meski dalam kondisi ekstrim seperti temperatur yang sangat tinggi, di bawah naungan dan dapat bertahan hidup di daerah bersalju ringan. Kelor tahan dalam musim kering yang panjang dan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar antara 250 sampai 1500 mm. Meskipun lebih suka tanah kering lempung berpasir atau lempung, tetapi dapat hidup di tanah yang didominasi tanah liat (Kelorina, 2014).
a.    Akar
Akar tunggang, berwarna putih. Kulit akar berasa dan berbau tajam dan pedas, dari dalam berwarna kuning pucat, bergaris halus, tetapi terang dan melintang. Tidak keras, bentuk tidak beraturan, permukaan luar kulit agak licin, permukaan dalam agak berserabut, bagian kayu warna cokelat muda, atau krem berserabut, sebagian besar terpisah. Akar tunggang berwarna putih, membesar seperti lobak.
b.    Batang
Kelor termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketingginan batang 7 – 12 meter. Merupakan tumbuhan yang berbatang dan termasuk jenis batang berkayu, sehingga batangnya keras dan kuat. Bentuknya sendiri adalah bulat (teres) dan permukaannya kasar. Percabangan pada batangnya merupakan cara percabangan simpodial dimana batang pokok sukar ditentukan, karena dalam perkembangan selanjutnya mungkin lalu menghentikan pertumbuhannya atau kalah besar dan kalah cepat pertumbuhannya dibandingkan cabangnya.
c.    Daun
Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling (alternate), beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda berwarna hijau muda – setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 – 2 cm, lebar 1 – 2 cm, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul (obtusus), tepi rata, susunan pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas dan bawah halus.
d.   Bunga
Bunga muncul di ketiak daun (axillaris), bertangkai panjang, kelopak berwarna putih agak krem, menebar aroma khas.  Bunganya berwarna putih kekuning-kuningan terkumpul dalam pucuk lembaga di bagian ketiak dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Malai terkulai 10 – 15 cm, memiliki 5 kelopak yang mengelilingi 5 benang sari dan 5 staminodia. Bunga Kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak.
e.    Buah atau Polong
Kelor berbuah setelah berumur 12 – 18 bulan. Buah atau polong Kelor berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang (Jawa) dengan panjang 20 – 60 cm, ketika muda berwarna hijau – setelah tua menjadi cokelat, biji didalam polong berbentuk bulat, ketika muda berwarna hijau terang dan berubah berwarna coklat kehitaman ketika polong matang dan kering. Ketika kering polong membuka menjadi 3 bagian. Dalam setiap polong rata-rata berisi antara 12 dan 35 biji.
f.     Biji
Biji berbentuk bulat dengan lambung semi-permeabel berwarna kecoklatan.  Lambung sendiri memiliki tiga sayap putih yang menjalar dari atas ke bawah.  Setiap pohon dapat menghasilkan antara 15.000 dan 25.000 biji/tahun. Berat rata-rata per biji adalah 0,3 g. (Makkar dan Becker, 1997).

2.2. Perbanyakan tanaman kelor dengan biji
Biji yang ditanam sebaiknya berasal dari biji yang sudah diseleksi berasal dari tanaman yang sehat, dipanen pada waktu buah polong kelor sudah tua dan biji dikeringkan dengan baik. Biji yang dipilih sebagai calon benih adalah biji yang sehat penampilan biji tidak keriput, cacat atau rusak.
Polong kering tersebut yang masak di pohon sangat ideal sebagai benih calon pohon kelor. Di alam bebas benih kelor tua tersebut jatuh sendiri terkena angin dan terbawa air sehingga dalam beberapa hari kemudian memicu tumbuh benih berkecambah dan menjadi pohon kelor muda.
Biji yang sudah diseleksi sebagai calon benih sebelum ditanam direndam dalam air hangat dan dibiarkan selama satu malam atau sampai biji terlihat mengembang, biji yang mengapung sebaiknya dibuang dan tidak digunakan sebagai benih. Biji yang sudah direndam kemudian ditiriskan dan dapat ditanam segera atau paling lambat sehari setelah ditiriskan.
Biji Kelor dapat diambil dari polong atau buahnya yang sudah tua, berwarna coklat dan mudah pecah.  Namun, bila mendapatkannya dari sumber lainnya, maka pilihlah sumber yang dapat dipercaya. Benih yang baik harus layak, berisi, bersih dan bebas penyakit. Benih tidak boleh disimpan dalam waktu lama karena biji Kelor akan kehilangan viabilitas (daya kecambah) setelah sekitar satu tahun (BPTP, 2011).
2.3. Persemaian biji kelor di persemaian
Biji harus ditabur pada kedalaman maksimum 2 cm. Lubang tanam yang terlalu dalam, akan sangat mengurangi tingkat perkecambahan. Tiap lubang dapat diisi satu atau dua biji. Bila harga biji mahal atau sulit untuk memperolehnya, pilihan yang lebih baik adalah dengan menanam satu biji saja dan menunggu dua minggu untuk perkecambahan.
Biji kelor berkecambah 5 sampai 12 hari setelah tanam. Jika biji tidak berkecambah setelah dua minggu, harus diganti karena tanaman tidak akan tumbuh dengan baik nantinya. Sebaiknya periksa lubang tanam, apakah ada serangan semut atau rayap terhadap biji yang ditanam. Jika hal ini terjadi, lubang harus diberi larutan insektisida, dan gunakan yang alami seperti daun nimba. Setelah itu penyemaian dapat dilakukan kembali.

2.4.Pertumbuhan bibit di polybeg
Tempatkan polybag di daerah yang sedikit ternaungi agar terlindungi dari hujan lebat atau panas yang terik. Siram setiap 2 sampai 3 hari tergantung pada kelembaban tanah, dianjurkan 10-20 ml air untuk setiap polybag. Pada tahap ini tanaman harus terlindung dengan baik dari belalang, rayap dan hewan lain.

2.5. Uji viabilitas benih
Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang dapat ditunjukkan melalui gejala metabiolisme dan atau gejala pertumbuhan, selain itu daya kecambah juga merupakan tolak ukur parameter viabilitas potensial benih (Sadjad, 1993).
Kelangsungan daya hidup benih ditunjukan oleh persentase benih yang akan menyelesaikan perkecambahan, kecepatan perkecambahan dan vigor akhir yanga menyelesaikan perkecambahannya. Proses perkecambahan suatu benih, memerlukan kondisi lingkungan yang baik, viabilitas benih yang tinggi dan pada beberapa jenis tanaman tergantung pada upaya pemecahan dormansinya. Vigor benih dapat menjadi informasi penting untuk mengetahui kemampuan tumbuh normal dalam kondisi optimal dan sub optimal (Shankar, 2006).
Kualitas benih digolongkan menjadi tiga macam, yaitu kualitas genetik, fisiologis, dan kualitas fisik. Pengujian viabilitas dilakukan untuk mengetahui kualitas fisiologis yang berkaitan dengan kemampuan benih untuk berkecambah. Index matematis terhadap perkecambahan dapat mudah untuk menggambarkan kualitas benih yang dapat diterima oleh seluruh konsumen (Al-Karaki, 2002).
Perbedaan daya kecambah antar varietas dapat disebabkan karena masing-masing benih mempunyai ukuran yang berbeda-beda, kandungan zat makanan serta umur panen yang berlainan. Perbedaan sifat terebut disebabkan oleh faktor genetik masing-masing benih. Faktor genetik yang dimaksud adalah varietas-varietas yang mempunyai genotype baik (good genotype) seperti produksi tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, responsif terhadap kondisi pertumbuhan yang lebih baik (Sunarto et al 2001).
Menurut (Wahab dan Dewi 2003) kemampuan benih untuk tumbuh dan berproduksi normal pada kondisi yang optimum merupakan parameter daripada suatu viabilitas potensial benih. Selain itu yang menjadi tolok ukur dari viabilitas benih tersebut yaitu daya kecambah dan berat kering dari suatu kecambah yang normal. Pengujian daya berkecambah parameter yang digunakan berupa persentase kecambah normal berdasarkan penilaian terhadap struktur tumbuh embrio yang diamati secara langsung, Pengujian pada kondisi lapang biasanya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena tidak dapat diulang dengan hasil yang akurat.

2.6. Tingkat kematangan buah hubungannya dengan viabilitas danb pertumbuhan bibit.

Perkecambahan benih dapat dipengaruhi oleh faktor dalam antara lain tingkat kemasakan benih. Benih yang dipanen sebelum mencapai tingkat kemasakan fisiologis tidak mempunyai viabilitas tinggi. Pada beberapa jenis tanaman, benih yang demikian tidak akan dapat berkecambah. Hal ini diduga benih belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan pembentukan embrio belum sempurna (Imam, 2008).
Kematangan  buah dapat dicirikan oleh kadar air benih, perubahan warna buah, kadungan bahan kimia pada benih serta pematangan buatan (Bonner et al., dalam Suita, E,dkk, 2008). Benih disebut masak apabila secara fisiologi dapat berkecambah, buah atau organ pembentuk biji sudah masak. Proses pematangan buah dan biji biasanya seiring, sehingga kemasakan buah dan biji diperoleh pada waktu yang hampir  bersamaan. (Schmidt dalam Suita, E,dkk, 2008).
Dalam konsep Steinbauer – Sadjad (sadjad, 1993) dikemukakan bahwa biji dapat mempunyai kemampuan berkecambah yang berbeda selama proses  pematangannya, dan secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga fase. Fase  pertama adalah saat biji pada kondisi matang morfologis sampai biji matang untuk  berkecambah. Fase kedua merupakan periode dimana biji mempunyai daya  berkecambah yang maksimal. Sedangkan fase ketiga merupakan periode terjadinya  penurunan daya berkecambah benih.













BAB. III. METODELOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan tempat
            Penelitian ini direncanakan  dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2015 di laboratorium produksi dan kebun percobaan Fakultas Pertanian UNRAM
3.2. Alat dan Bahan
            Alat-alat yang digunakan antara lain : Bak kecambah, alat  tulis, plastik, oven, timbangan, kamera dan kertas.
            Bahan yang digunakan antara lain : tanah, skam padi, isolasi, label pupuk kompos dan polybeg.
3.3. Perancangan pelaksanaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Dalam penelitian ini terdapat 3 perlakuan yaitu :
1.      Tingkat kematangan optimal (buah hijau gelap).
2.      Buah kelewat matang (buah sebagian mongering)
3.      Tingkat masak (buah telah mongering seluruhnya)
Setiap perlakuan dibuat 3 ulangan yang terdiri atas 2 bak kecambah berisi 50 biji tiap ulangan. Percobaan untuk mengetahui pertumbuhan bibit, dilakukan dengan menanam semai dalam polibeg setiap perlakuan dibuat dalam 3 ulangan yang terdiri dari 20 unit tanaman setiap ulangan.
Uji lanjut menggunakan ujiwilayah berganda Duncan  pada taraf  5 %.
3.4.  Pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian ini meliputi
1.      Persiapan benih
Benih yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih benih lokal yang berasal dari kawasan lahan kering yaitu Pringgabaya, Nusa Tenggara Barat. Biji diambil dari 2 tanaman yang tumbuh subur dan sehat
2.      Persiapan media tanam persemaian
Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah media tanam campuran tanah, pasir dan sekam padi dengan perbandingan  3:2:1 berdasarkan volumenya.
3.      Persemaian
Persemaian  dilakukan dengan membenamkan biji kelor sedalam  2 cm ke dalam bak kecambah, setiap bak kecambah diisi dengan 50 biji.
4.      Persiapan media tanam pembibitan
Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah media tanam campuran tanah dengan sekam padi dan pupuk kandang  3 : 1 : 1 berdasarkan volumenya.
5.      Pindah tanam
Pindah tanam dilakukan setelah 3 minggu atau tingginya sekitar 10 cm  dengan cara memilih semai yang tumbuh subur, tidak terlalu pendek dan vigor.
6.      Pemerliharaan bibit
Kegiatan pemeliharaan dalam penelitian ini yaitu :
a.    Penyiraman
Penyiraman disesuaikan dengan kebutuhan tanaman supaya kelembaban tanah tetap terjaga, penyiraman dilakukan setiap hari dengan mempertimbangkan kondisi tanaman.
b.    Penyiangan
Penyiangan dilakukan jika ada gulma yang tumbuh di media tanam dengan cara mencabutnya.

3.5.   Variabel respon dan cara pengumpulan data
Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu dibagi menjadi 2 yaitu : variabl viabilitas biji dan variabel pertumbuhan bibit.

1.        Variabel viabilitas biji
a.       Daya kecambah
Dihitung pada akhir fase persemaian yaitu 14 hari sejak dikecambahkan
Dengan rumus

Daya kecambah =
b.      Laju perkecambahan
Laju perkecambahan
Rata-rata hari


keterangan: (N) Jumlah benihyangber kecambah setiap hari; (T) Jumlah waktu antara  awal pengujian sampai dengan akhir dari interval tertentu suatu pengamatan

c.       Nilai perkecambahan (Sutopo, 2002 )
Nilai perkecambahan yaitu dimana nilai puncak perkecambahan dikali nilai rata-rata perkecambahan harian yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Nilai Puncak (Peak Value)PV=  


keterangan:      (PV) Nilai puncak perkecambahan;
            (T) Titik dimana laju perkecambahan mulaimenurun

Nilai rata-rata perkecambahan harian (MeanDaily germination)
MDG = %

keterangan:      (MDG) Rata-rata perkecambahan harian;
(Z) Saat perkecambahan terakhir
Nilai Perkecambahan (NP)
NP = PV x MDG
d.      Berat kering semai
Dihitung pada akhir fase persemaian dengan cara dioven.

2.        Variabel pertumbuhan bibit.
a.       Tinggi bibit
Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur tinggi batang dari pangkal batang di atas permukaan tanah sampai ujung batang pokok setiap tanaman. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali.
b.      Diameter batang
Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter batang pokok yang terletak di pangkal batang di atas permukaan tanah pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali.
c.       Jumlah akar lateral
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah akar lateral yang muncul pada setiap akar tunggang. Pengamatan dilakukan setelah umur bibit 4 minggu
d.      Berat Akar segar dan kering.
Pengamatn dilakukan dengan menimbang berat akar setelah panen yaitu pada saat tanaman berumur 8 minggu. Kemudian ditimbang berat basahnya dan kemudian dioven pada suhu 700C sampai diperoleh berat konstan.
e.       Berat tunas segar dan kering.
Pengamatan dilakukan saat panen dengan cara memisahkan akar dan tunas tanaman, kemudian ditimbang berat basahnya, selanjutnya dioven pada suhu 700C sampai diperoleh berat konstan.

























DAFTAR PUSTAKA

Al-Karaki. G.N. 2002. Seed size and water potential effects on water uptake, germination  and  growth oflentil. Journal of Agronomy Crop Science. 181(4) :237-242.
BPTP NTB.2011. Teknologi Budidaya Tanaman kelor. Badan Litbang pertanian. NTB.
Imam, muhammad.2008 . Pengaruh Tingkat Kematangan Buah Terhadap Perkecambahan Biji pada Pyracanta Spp .cibodas:buletin kebun raya indonesia vol. 11 no 2, juli 2008 hal 36  –  40
Shankar, U. 2006. Seed size as a predictor of germination success and early seedling growth in Hollong (Dipterocarpus macrocarpus vesque). New Forests 31(2):305-         320.
Sadjad,Sjamsoe’oed.1993. Dari Benih Kepada Benih. PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta.
Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih edisi revisi.Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.PT. Raja Grafindo Persada. Malang.
Sunarto, T, Hilman, SB. 2001. Analisis Korelasi dan Koefisien Lintasan Hasil Padi Sawah Pada Lahan Keracunan Fe. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 18 (2).
Wahab, M. K dan Dewi R. 2003. Pengaruh Ukuran dan Pencucian Benih Terhadap Viabilitas Benih. Penelitian Tanaman Industri XIX (1-2): 38-41.